Tuesday, February 12, 2008

Kartel SMS, Apakah Itu ?

Jauh sebelum muncul keputusan pemerintah untuk menurunkan tarif telepon operator GSM, terutama biaya interkoneksi antar operator, sudah muncul terlebih dahulu temuan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) tentang dugaan persekongkolan harga oleh perusahaan penyelenggara operator telepon seluler dalam menetapkan tarif atau biaya pengiriman sms.
Istilah kartel terdapat da1am beberapa bahasa seperti "cartel" dalam bahasa Inggris dan "kartel" dalam bahasa Belanda. "Cartel" disebut juga "syndicate" yaitu suatu kesepakatan (tertulis) antara beberapa perusahaan produsen dan lain-lain yang sejenis untuk mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dan sebagainya, dengan tujuan menekan persaingan dan meraih keuntungan.
Kartel itu merupakan gabungan atau persetujuan (conventie) antara pengusaha-pengusaha yang secara yuridis dan ekonomis berdiri sendiri. Untuk mencapai sasaran; peniadaan sebagian atau seluruh persaingan antar pengusaha, untuk dapat menguasai pasar, dimana biasanya tujuan pembentukan kartel, diperlukan syarat bahwa kartel mencakup bagian terbesar dari badan-badan usaha yang ada, dengan ketentuan bahwa mereka menggarap pasar yang bersangkutan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yakin terjadi persekongkolan delapan operator selular untuk membentuk harga (kartel) tarif layanan pesan pendek. “Tentu saja kami yakin, kalau tidak pasti tak dilanjutkan ke pemeriksaan lanjutan,” kata Ketua KPPU Muhammad Iqbal. “Tapi kami tak bisa menghakimi begitu saja. Perlu dibuktikan lebih lanjut.”
Ia menjelaskan, dalam pemeriksana lanjutan ini tim pemeriksa fokus pada mencari kerugian konsumen (customer lost) akibat penetapan harga. Bukti pendukung seperti kerugian konsumen diperlukan setelah operator ramai-ramai mengelak ikut dalam perjanjian tarif pesan pendek (SMS). Padahal awalnya operator mengakui bukti-bukti berupa dokumen perjanjian yang saat ini berada di tangan komisinya.
Soal upaya menghitung customer lost, kata Iqbal, bisa melalui analisa ekonomi berdasarkan tarif interkoneksi dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yakni Rp 75 per SMS. Sementara delapan operator memberlakukan tarif SMS Rp 250-Rp 350. “Pembuktian seperti ini pernah kami lakukan pada kasus Temasek,” katanya. Delapan operator itu adalah PT Excelcomindo Pratama (XL), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkomsel), PT Indosat, PT Hutchinson, PT Smart Telecom, PT Mobile-8, dan PT Bakrie Telecom.
KPPU telah memiliki bukti kuat kartel tarif SMS. Bukti kuat itu didapat pekan lalu sehingga lembaga ini memutuskan melanjutkan pemeriksaan. "Pemeriksaan lanjutan untuk memeriksa saksi-saksi dan mendapatkan bukti yang lebih kuat," ucapnya. Pemanggilan manajemen delapan operator tadi sudah dilakukan pada bulan Januari. KPPU menemukan dokumen perjanjian dan fakta-fakta pendukung. Fakta itu antara lain operator memberlakukan tarif Rp 250-Rp 350 per SMS, padahal BRTI menetapkan Rp 75.-.
Jika dugaan persekongkolan ini terbukti, menurut dia, operator-operator itu melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal tadi melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar yang sama.
Operator seragam membantah tuduhan kartel. Juru bicara Telkom, Eddy Kurnia, menyatakan layanan SMS di Indonesia masih berbasis sender keep all (SKA) sehingga operator penerima SMS tak memperoleh benefit apapun. Padahal, banjir pesan pendek membebani operator yang dituju. Untuk menghindari spamming antar operator, kata dia, banyak promosi SMS on net dengan harga murah atau mengubah SKA menjadi pola interkoneksi. Soal tarif versi BRTI, Eddy menilai BRTI menghitung berdasarkan perhitungan cost based, yakni SMS masih dianggap sebagai value added service, sehingga cost rendah. Sebab tak semua elemen jaringan yang digunakan diperhitungkan.
Direktur Marketing Indosat, Guntur S. Siboro, membantah perusahannya meneken perjanjian soal tarif SMS dengan operator lain. “Harga juga ditentukan oleh pasar dan positioning,” ujarnya. Mobile-8 dan Bakrie Telecom pun membantah kongkalikong mengatur harga.
Adapun Myra Junor, juru bicara XL, enggan berkomentar dengan alasan masih dalam pemeriksaan. Direktur Utama Hutchinson, Sidharta Sidik, setali tiga uang.
Aksi delapan operator itu sebagai price fixing. Ini terjadi lantaran harga cenderung seragam karena dominasi salah satu operator. Nah, operator lainnya menikmati kondisi itu. Price fixing tentu saja merugikan konsumen. Homogenitas (keseragaman) harga terjadi karena tak ada perbedaan struktur tarif.
Sebagai konsumen, kita patut berharap bahwa rencana pemerintah untuk menurunkan tarif telepon mulai 1 April 2008 juga disertai dengan penurunan tarif sms, baik antar sesama operator maupun lintas operator. Semoga.

Perang Tarif Operator Seluler

Kalo kita mengamati iklan dari para penyedia jasa telepon selular, baik GS mauun CDMA, maka kita akan menyaksikan perang tarif yang sangat ketat. Berikut ini adalah iklan perang tarif yang sering muncul di media masa terutama televisi :
• Mentari - Indosat, judul promo : Mentari FreeTalk (Rp 0 antar sesama mentari)
• Simpati - Telkomsel, judul promo : Simpati PeDe (Rp 0,5 / detik setelah menit ke-1 ke semua pelanggan Telkomsel)
• Bebas - XL (Rp 0,1 / detik setelah menit ke-2,5)
• Three (Rp 1 / menit)
• Smart (Rp 0 selama 24 jam sehari, antar Smart)
• Esia (Rp 50 / menit atau Rp 1000 / jam, antas Esia)
• StarOne - Indosat (Ngorbit Rp 25.000 per bulan antar StarOne)
• Fren - Mobile-8 (Rp 38 / menit, antar Fren lokal)
• Fren – Mobile-8 (Rp 700 / menit, ke GSM manapun)
Luar biasa memang perang tarif selular yang sedang terjadi dan yang diuntungkan adalah para konsumen atau pelanggan karena tarif menjadi murah. kenapa bisa terjadi perang tarif yang luar biasa seperti ini di kalangan para operator selular GSM maupun CDMA ? Ada dua tujuan : pertama, bagi operator baru ingin mendapatkan / merebut pelanggan baru, dan kedua, bagi operator lama ingin agar pelanggannya bertambah banyak dan mempertahankan pelanggan yang sudah ada.
Perang tarif ini bisa dipastikan akan membuat bingung para pelanggan baru maupun lama, betapa tidak ? Promosi tarif yang sangat ketat akan membuat orang susah untuk membandingkan tarif apalagi standar yang digunakan untuk menentukan hitungan tarifnya berbeda-beda antara operator satu dengan yang lainnya. ada yang perdetik, permenit, perjam, perbulan, dana batasan berlakunya promo juga berbeda-beda. Oleh karena itu sebagai konsumen harus lebih jeli untuk memilih operator yang hendak digunakan.
Genderang perang tarif antar operator GSM dan CDMA semakin sengit. Konsumen semakin diuntungkan dengan keadaan ini. Tarif yang semakin murah memang sudah seharusnya dinikmati konsumen karena berdasarkan hitung-hitungan para ahli di bidang telekomunikasi tarif seluler di Indonesia masih mahal.
Bahkan menurut KPPU terjadi kongkalingkong antar operator dengan memberikan batas bawah tarif antar operator. Andaikan tidak ada kesepakatan antar operator itu tarif bisa lebih murah lagi dari sekarang.
Konsumen dalam mempertimbangkan operator yang dipilih sebenarnya hanya berdasarkan luasnya jaringan, kemudahan isi ulang dan tarif yang bersaing. Sebagai contoh tarif beberapa operator GSM berdasarkan iklan yang sering menyesatkan sebenarnya masih dalam batas rentang (range) yang tidak berbeda jauh. Hanya kadang hitung-hitungannya dibuat rumit, lihat saja hitungan tarif operator XL Bebas yang katanya hanya Rp 0,1/detik.
Penetapan tarif baru XL yang Rp 0,1/detik itu menjawab tantangan simPATI PeDe yang menawarkan tarif Rp 0,5/detik untuk sesama operator. Bila dicermati dan hitung kisaran tarifnya hanya selisih ratusan rupiah untuk menelepon selama 1 jam. Bila simPATI PeDe menetapkan 1 menit pertama Rp 1.500,00 dan detik selanjutnya Rp 0,5/detik, maka XL menetapkan 2,5 menit pertama Rp 1.500,00 dan tarif 0,1 detik untuk setelah 2,5 menit sampai 30 menit pertama dan sampai 60 menit pertama tarifnya Rp 1/detik. Rumit ya?
Setelah dihitung dan dibandingkan tarif sesama operator:
- Tarif XL pada 30 menit pertama Rp 1.965,00 dan selama 1 jam yaitu Rp 3.765,00
- Tarif simPATI PeDe pada 30 enit pertama Rp 2370,00 dan selama 1 jam yaitu Rp 3.270,00
Dengan catatan XL menentukan perbedaan tarif untuk beberapa wilayah sedangkan simPATI PeDe sama disemua wilayah Indonesia.

Namun yang perlu diperhatikan apakah penentuan tarif tersebut tepat seperti hitungan kita diatas, atau hanya akal-akalan dari penyelenggara telepon selular, ini yang harus dicermati Menurut hemat penulis, pada suatu saat nanti perang tarif telepon selular akan berhenti mengingat marjin laba yang semakin menurun akan memberatkan bagi perusahaan operator telepon selular. Hal itu otomatis akan menggeser bentuk persaingan harga (price competition) ke persaingan non harga (non price competition). Persaingan akan lebih fokus ke masalah-masalah seperti kualitas sinyal yang semakin baik, daerah blank spot semakin berkurang, berkurangnya gangguan-gangguan dalam menelpon dan mengirim sms pada jam-jam sibuk atau hari raya, penambahan fasilitas-fasilitas layanan terkini, dan jangan lupakan layanan after sales service yang semakin baik. Namun sebelum persaingan mengarah ke hal-hal tersebut, sebagai konsumen kita masih boleh berharap : Semoga perang tarif terus berlangsung sampai harga yang seharusnya (murah) untuk konsumen.